Bismillahirrohmanirrohimm ..
Assalamualaykum Warahmatulloh Wabarakatuh …
Bagaimana kabar sahabat blogger semua ?
semoga dalam lindunganNya selalu.. aamiin ^^
Dalam kesempatan kali ini saya akan posting
sebuah cerpen dan semoga bisa bermanfaat dan dapat diambil hikmahnya.. langsung
happy reading..
Meraga Sukma
“Dimana aku ? Gelap, anyir, amis dan eh.. ini
siapa? Kok, pada terbaring semua ? Dimana ini ?! Apa yang terjadi denganku ?”
Semuanya hitam kelam, bisu dan hampa. Tertatih – tatih ia bangkit, menegakkan
seluruh tubuhnya, memandang sekeliling. Raut wajahnya cemas, hatinya gelisah
dan rasa keheranan membuatnya takut. Diamatinya satu persatu yang ada disana.
Semuanya serba remang – remang.
Pelan, ia bergerak terseok – seok,
menghampiri yang paling dekat. Aih, dimana aku ? Oh tidak, dimana aku! Tempat
apa ini ?! Bulu romanya bergidik. Kesunyian itu begitu mencekam. Sejauh mata
memandang hanya tertumpu pada gumpalan kelam tak bertepi. Sesekali asap putih
semburat di sana – sini.
“Duuk!” kakinya tersandung sesuatu. Seperti
salah satu organ tubuh manusia. Tapi ia tak pasti.
“Hm.. kurang ajar, berani kau mengganggu
waktu sitirahatku yang hanya sebentar ini!!!” Seseorang bertubuh tinggi besar
dengan perut gendut berkepala plontos menghardiknya. Orang itu telanjang dada.
Brewok di mukanya tumbuh liar, sementara bulu – bulu kasar menutupi hamper
seluruh dadanya.
“Keparat!! Kenapa kau injak tanganku ? Kau
piker aku ini apa, ha?!” Mata brewok itu berubah merah, melotot padanya menahan
luapan amarah. Sesekali gemeletuk gerahamnya menambah angker wajah itu.
“Maaf.. maaf, aku tidak sengaja! Aku benar –
benar tidak sengaja. Kupikir tadi aku.. ah maaf. Dimana ini ? Gelagapan ia
menjawab. Rasa heran dan terkejut yang luar biasa membuatnya ketakutan setengah
mati. Tanpa sadar, ia melangkah mundur, tak tahan akan tatapan tajam si brewok
itu.
“Gedebuk!” Tubuhnya terjerembab pada sosok
tubuh manusia.
“Brengseeek…!!!” Jeritan suara melengking itu
memaki padanya.
“Siapa yang mau membunuh anakku? Kurang ajar.
Setan alas, siapa yang berani menggangguku?!”
“Maaf..maaf.. aku tidak sengaja. Kupikir tadi
di sini tidak ada apa – apa. Maaf..,” degup jantungnya bertalu – talu menahan
ketakutannya dan kengeriannya. Seorang wanita dengan rambut keriap – riapan
ditiup angin menuding ke arahnya. Rambutnya panjang sepinggang tergurai ke
depan menutupi hamper seluruh wajahnya. Hanya mata itu yang kelihatan, mata itu
mendelik padanya sambil tangannya mengusap perutnya yang tengah mengandung.
“Di mana ini.. tolong! Tolooong..!!! Di mana
aku!” ia berteriak menoleh kesana kemari. Astir!!! Dedy, Jhonny.. Dina, Rika..
Dimana kalian !!! Tolong Aku.. oh tidak. Siapa kalian ! Mengapa aku ada
disini.” Tak terasa ia menyebut nama – nama orang yang sangat disayanginya;
istri dan anak – anaknya. Wanita dan si brewok itu berjalan menghampirinya.
Jalannya tidak lumrah. Seakan telapak kaki mereka tidak menyentuh tanah.
Perlahan mereka mengelilingi orang itu, memelototinya dari ujung rambut hingga
mata kaki. Orang itu berjas hitam dan berdasi warna – warni. Memakai sepatu
mengkilap dan berjam tangan mewah. Di saku kiri atas tergantung dua buah
bolpoin. Kaca matanya tidak karuan letaknya, sebelah kiri melorot terlalu
kebawah, mungkin terhantuk ketika ia jatuh tadi.
“Haha..ha Sepertinya kau orang baru yah?
Kapan kau tiba? Selamat datang disini. Tempat kau menanti azab dab siksa.”
Brewok itu tertawa mengejeknya.
“Hai, orang muda! Dari lagak dan gerak –
gerikmu, aku tahu kau bukan orang baik – baik. Kerjamu hanya mengumbar nafsu
dunia. Menipu, korupsi dan makan harta haram. Orang seperti kamu ini memang
patut dienyahkan lebih cepat dari muka bumi. Hik .. hik..,” si wanita itu
tertawa nyaring prnuh hinaan. Keparat ! Orang itu merutuk dalam hatinya. Ini
mimpi. Yah mimpi. Diperhatikannya sekujur tubuhnya.
Alisnya mengerut. Mengapa jas dan kemejaku
penuh noda darah? Oh tidak. Ada luka menganga di pahanya. Luka itu telah
kering. Aneh, mengapa ia tidak merasa sakit, diusapnya wajahnya, ada serpihan
kaca – kaca halus, menancap disana – sini.
“Ha..ha.. dasar tolol, bodoh. Coba kau lihat
sekitarmu. Kau dimana? Ha..ha.. tadi siapa yang kau panggil hah? Astri, siapa
itu ? Sampai kiamatpun, ia ta bakalan datang. Selamat datang disini, ditempat
ini. tempat kau menunggu hari kiamat, tempat kau disiksa seperti aku. Ha
…ha..,” Brewok itu kembali mengejeknya.
“Stupid, damn you, bull shit! Pergi.. jangan
ganggu aku!” kesal dia direndahkan terus menerus.
“sudah..sudah! Mengapa rebut – rebut. Pak
Parno dan Mbak Siska, ada apa sampai bising – bising segala.” Satu suara datar
muncul dari samping kirinya. Ah, ternyata hanya seorang petani miskin yang mau
ikut campur, gerutunya dalam hati. Wanita dan si brewok yang dipanggil Siska
dan Parno itu hanya diam, seakan merasa segan terhadap petani itu. Namun petani
tua itu dapat menduga, tentu ada orang jahat baru datang, sampai membuat
suasana hiruk pikuk.
“Anak muda, tempatmu diujung sana, tak lama
lagi kau akan meninggal, bersiaplah dan jangan mengganggu ketenangan orang
lain. Selamat datang di alam barzah.” Petani itu menunjuk pada dinding sempit
berbentuk segi empat di belakangnya.
“Barzah, alam barzah!” kepala lelaki itu
mendongak, seluruh urat syarafnya menegang.
“Alam kubur. Berarti aku sudah mati. Mati! Oh
tidak. Tak mungkin. Kau bohong Pak Tua. Mati, oh tidak..” lelaki itu menjerit,
dan bergerak kesana kemari. Diperhatikannya sekelilingnya, “Aih..”ada beberapa
gundukan disana sini.
“Aku mati, tak mungkin. Astri! Dimana kamu!
Rika, dedy.. kesini Nak. Papa rindu, Nak.” Bagai orang kesurupan, ia berteriak dan
berlari tak tentu arah.
~~~~~~~~~~
“La haula wala quwwata illa billah. Tenanglah
anak muda, semuanya terlah berlalu, hadapi kenyataan, kau telah berada di alam
baka. Siapa namamu, Nak?” seorang tua berjubah putih dengan kepala disorban
menghampirinya. Disampingnya bergelayut manja seorang bocah kecil berumur
delapan tahun. Sesaat ia menatap orang tua itu. Dia terkejut, kenapa seluruh
nadinya berdesir, seluruh syaraf perasaannya terpaku pada tatapan lembut mata
itu. Tiba – tiba, segenap perasaan heran itu luluh dengan ketakjuban dan rasa
damai bertemu dengan orang tua ini.
“Siapa namamu, anak muda?” Pak tua itu
mengulangi kembali sapaan lembutnya. Tangannya menghampiri lelaki itu
membantunya bangkit berdiri. Ah, sekali lagi lelaki itu terkesima, wajah teduh
itu begitu menghipnotisnya, bibirnya tak henti – hentinya bergumam lirih
menyebut nama Tuhan. Tentu dia seorang alim ulama. Seorang suci, pikirnya.
“Saya Hendrawan Prasetya, kyai!”
“Kenapa kau bisa datang ke sini, Nak Hendra?”
Seperti orang linglung, ia mencerna pertanyaan kyai itu. Yah, kenapa dia bisa
disini.
“aku..aku tak ingat kyai, yang kutahu, malam
itu hujan lebat, aku mengendarai mobil mercyku, waktu itu aku sedang mabuk
berat karena sedih dan kecewa dan aku menabrak pohon besar ditepi jalan terus..
mobilku terguling setelah itu aku tak ingat lagi, kyai. Oh, Astriku.. Astriku
sayang. Mengapa kau tega melakukan itu. Mengapa? Dina.. Jhonny, papa rindu,
Nak. Kyai benarkah aku telah mati?” seseunggukan ia menangis, kemudian ia jatuh
berlutut, mendekap mukanya.
“Aku
telah mati. Oh, Tuhan, tak mungkin. Aku masih belum siap. Aku .. aku penuh
disa. Tak mungkin aku mati secepat ini.” Tangisnya memuncak, suaranya memilukan
setiap orang. Parno, Siska dan petani itu juga ikut terkesima. Ketika pertama
kali ke sini, mereka juga begitu. Meraung – raung seolah tak percaya, bahwa
mereka telah meninggalkan dunia fana.
“Sepertinya hidupmu jarang mengingat Tuhan
dan terlalu sering melalaikan perintah_nya, “kyai itu berujar.
“Anak muda kini tiada apapun yang bisa
menyelamatkanmu, tiada suatu apapun yang bisa menolongmu kecuali tiga perkara;
yang pertama, apakah selama ini kau melakukan amal jariyah. Menginfakkan
hartamu dijalan Allah?” Lelaki itu terpekur ditempatnya. Seperti bicara pada
dirinya ia bergumam.
“Shadaqah jariyah? Aku memang sering
membangun gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, dan mengepalai proyek – proyek
besar buat kepentingan orang banyak. Tap itu semua kudapati dengan cara kotor,
dengan curang aku mengalahkan saingan bisnisku. Dan saat itu, yang ada
dibenakku hanya uang dan bisnis. Tapi aku pernah membangun musholla di
lingkunganku, ah… itupun kulakukan untuk cari nama. Supaya aku dibilang orang
shaleh dan orang – orang akan menganggapku sebagai orang kaya dermawan. Padahal
aku sadar, kalau harta itu tidak bersih. Berapalah harga sebuah musholla bila
dibandingkan dengan harta kotorku selama ini.”
“Harta yang haram tidak dapat dipakai buat
ibadah. Malah akan menambah dosa baru. Anak muda, yang kedua, adalah ilmu yang
bermanfaat. Apakah selama ini, engkau mengajarkan ilmumu kepada orang lain,
hingga orang itu akan menyebarkannya dan selama ilmu it uterus berguna maka
selama itu pulalah pahalamu akan mengalir, walau kau sudah berada disini.”
“Ilmu, kyai? Ilmu yang bagaimana yang kyai
maksudkan. Kalau ilmu dunia, mungkin aku tahu banyak. Ah.. aku memang tidak
adil. Ketika hidup, ilmu – ilmu akhirat, aku anggap kuno dan kampungan. Setiap
ada pengajian di musholla aku selalu menghindar, ketika seseorang bercerita
tentang agama, aku selalu mencemooh. Waktu itu ku piker, Tuhan tidak berhak
mencampuri kebebasan manusia, Tuhan tidak boleh mengatur terlalu banyak urusan
manusia. Selagi hidup, kerjakanlah sesukamu, mati adalah urusan nanti.”
“terlalu takabbur, anak muda. Kini yang
terakhir, apakah kau mempunyai anak shaleh yang senantiasa mendo’akanmu, walau
kau telah tiada?”
“Anak – anakku. Lelaki itu memejamkan
matanya, meresapi kerinduannya pada anak – anaknya. Kemudian ia tersenyum
pahit, mata sayunya memandang lurus kedepan. Anak shaleh? Si sulung Jhonny,
kerjanya hanya ngedrug, keluyuran dan jarang pulang ke rumah. Setiap pulang
selalu marah – marah dan dalam keadaan mabuk berat. Si Dina malah membuat
murka, akibat hamil di luar nikah. Dedy sama saja, anak itu selalu gonta- ganti
pacarnya. Dan selalu merengek – rengek minta uang. Si bungsu Rika yang ku
harapkan, malah paling berani membantah dan melawan kepadaku. Mereka semua tak
bisa diharapkan. Aku benar – benar malu dan kecewa. Tapi walau bagaimanapun aku
sangat sayang pada mereka.”
~~~~~~~~~
“Tuan, apakah tuan benar – benar tidak
mempunyai anak yang selalu mendo’akanmu?” Anak kecil yang sedari tadi berdiri
di samping kyai itu bersuara. Matanya menatap kasihan pada lelaki itu. Sesaat
lelaki itu berpikir sejenak lalu berkata,
“Dulu, lantaran aku kecewa pada anak –
anakku, aku pernah mengadopsi seorang anak yatim, kemudian ia kumasukkan ke
pondok pesantren. Tapi selama dia di sana, aku tak pernah menjenguknya, karena
aku terlalu sibuk.
“Itulah dia mutiaramu, tuan.” Bocah itu
tersenyum menghampirinya.
“Dialah yang akan mendo’akanmu, dialah yang
akan selalu bersujud panjang dan melantunkan do’a pengampunan untukmu, tuan.”
Mata lelaki itu berbinar,
“Benarkah itu, Nak?” dipeluknya bocah itu
erat – erat sebagai refleksi dari kegirangannya.
“Siapa namamu, Nka dan mengapa kau sampai
disini?”
“Namanya Arman, dia seorang penjual kue di
jalanan. Dia ke sini karena korban tabrak lari,” kali ini brewok itu menjawab.
“Kau sendiri, bagaimana bisa ke mari?” Tanya
lelaki itu pada si brewok.
“Dia seorang perampok kejam. Untuk merampok
tak segan – segan ia membunuh korbannya. Dia ke sini disebabkan mati tertembak
oleh polisi.” Wanita hamil itu ikut bicara.
“Sementara aku adalah seorang pelacur, selama
hidup aku selalu melampiaskan nafsuku dengan kaum pria. Hingga aku mengandung,
kemudian aku mati karena aborsiku gagal,” lanjutnya kemudian sembari tangannya
mengusap perutnya.
“Aku adalah seorang petani miskin, karena
kemiskinanku aku terbelit hutang, aku selalu dikejar – kejar orang karena
hutang. Tak tahan itu semua, aku menggantung diri dibawah pohon belakang
rumahku. Ah, kemiskinan telah membuatku kufur kepada Tuhan. Anak muda, tadi kau
berteriak – teriak memanggil seseorang, siapakah dia?” Petani itu bertanya.
“Oh.. dia.. si Astri itu. Keparat, kubunuh
dia, istri terkutuk. Malam itu dia selingkuh dengan sopirku. Aku memergokinya
ketika pulang kerja. Keparat!” Seketika lelaki itu menghentakkan kakinya,
tangannya terkepal, sinar matanya begitu menakutkan.
“Astaghfirullah… sungguh malang nasibmu anak
muda, bahkan hingga saat ini pun kau masih menyimpan bara dan menebar dendam.
Segala sesuatu ada sebab dan akibatnya. Manusia selalu memandang akibat dan
kurang mencerna sebab. Istrimu begitu, tentu ada sebabnya. Mungkin selama ini
kau selalu mengejar kesenangan duniawi, menupuk harta dan melakukan apa saja
yang kau suka. Istri dan anak – anakmu terlantarkan. Rumahmu mungkin telah
menjelma menjadi neraka. Kau telah menyia – nyiakan amanat Allah. Anak – anakmu
yang seharusnya menjadi penyebar rahmat di muka bumi malah kini mereka hanya
akan menambah daftar dosa – dosamu,” kyai itu menasehatinya lembut. Sinar mata
lelaki itu kini redup lagi, wajahnya tertunduk.
Tak selang beberapa lama, tangisnya kembali
terdengar. Namun kali ini sungguh pilu dan menyayat hati. Tak peduli akan
sekelilingnya, dia duduk bersimpuh, menengadahkan tangannya tinggi – tinggi.
Pelan dia berdo’a. sesenggukan tangisnya mengiringi desahan do’anya. Matanya
menatap keatas. Seakan memohon pengampunan. Dari mulutnya, terdengar lirih nama
Tuhannya disebut – sebut, pelan sekali dan nyaris tak terdengar. Dia terus
berdo’a dan menyatukan sukma dan raganya pada satu zat dan tujuan. Illahi
rabbi….Lama sekali. kini mata it uterus terpejam, namun air mata it uterus
mengalir. Begitu syahdu…
~~~~~~~~
“oh tidak! Tiba saatnya. Tidak!
Jangaaaaan!!!” Bersamaan teriakan si brewok, pwtani dan pelacur itu. Mereka
sangat ketakutan. Sungguh mengerikan pemandangan itu. Si petani berlari
ketakutan, namun tangannya terus mencekik lehernya. Sementara si brewok terus
membacok perutnya dengan golok yang di tanganya. Darah bermuncratan ke mukanya.
Sedang si pelacur itu, merangkak tertatih – tatih, ketika tangannya memasukan
besi panas membara ke liang kemaluannya. Lelaki it uterus memejamkan matanya
seakan tak terpengaruh sekelilingnya. Namun akhirnya ia tak tahan juga. Suara –
suara itu begitu memekakkan telinga dan sangat mengganggu konsentrasinya. Semuanya
serba hiruk pikuk. Dia merasa selain manusia – manusia tadi, ada banyak makhluk
disana. Begitu aneh dan menyeramkan. Suara – suara yang belum pernah ia dengar.
Telinganya tak sanggup lagi bertahan. Perlahan ia buka matanya. Laksana jutaan
semut menggigitnya tiba – tiba, tubuhnya menggigil dan ketakutan. Di sebelah
kirinya, ribuan binatang melata, mulai dari ular, cacing, kecoa dan
kalajengking berbagai bentuk tengah menggerayangi tubuh – tubuhmereka. Ada yang
melilitnya, ada yang menggigitnya, ada yang memasuki mulut dan keluar melalui
telinga. Raungan dan jeritan kesakitan sungguh memekakkan telinga. Di sebelah
kanannya, kyai dan bocah itu berjalan perlahan memasuki sebuah gedung yang
teramat megah. Belum pernah dia melihat gedung seindah itu. Taman – taman
sekelilingnya begitu asri dan menyejukkan.
~~~~~~~~
“oh tidak!” kini seekor ular yang paling
besar menatapnya. Memperlihatkan giginya yang bertaring. Ular itu sangat besar
bagaikan naga yang ia dengar dari dongeng – dongeng. Ular itu menjulurkan lidah
yang panjang siap memangsanya. Di belakangnya ratusan kalajengking mengikuti
ular itu berjalan ke arahnya. Suara binatang itu mendesis, sungguh menakutkan.
“Jangan. Tolong… Tidak!!! Ampun. Tidak!!!”
Dia berlari mengerahkan seluruh kekuatanya. Sesekali terjatuh, namun segera
bangkit lagi. Ular dan kalajengking it uterus mengejarnya. Gemuruh suara desis
mereka mengalahkan teriakannya. Beberapa ekor kalajengking, cacing dan ular –
ular kecil telah hinggap di pakaiannya, diantara mereka telah mulai
menggigitnya. Darahnya mulai berkucuran di sana – sini. Akhirnya dia terjatuh
terlentang.
“Ampun, ampun…!”.. suaranya mulai lemah, dia
benar – benar tak berdaya dan sakitnya sudah memuncak.
“Oh, Tuhann, ampuun.. jangan!!!” kini naga
itu membuka mulutnya lebar – lebar. Taring – taringnya siap melahapnya.
“Tidaaak!!! Ampun…”
~~~~~~~
“Tidaaak!!!” Ampun..”
“Dokter! Cepat.. Dia sudah sadar.”
“Alhamdulillah, saudara sudah sadar. Setelah
kecelakaan itu, anda berada dalam keadaan koma tiga hari. Setelah dioperasi,
kaki Pak Hendra terpaksa harus diamputasi,” dokter disampingnya menjelaskan
padanya.
“Pa.. mama minta maaf, Pa. Mamah salah, pa.”
“Pa.. jangan tinggalkan kami, pa.”
“Pa..kami semua mau berubah, Pa…,” suara
istri dan anak – anaknya meratap di sebelah kirinya. Ruangan itu dipenuhi isak
tangis. Lelaki itu melihat sekelilingnya. Istri dan anak – anaknya menatap
padanya dengan air mata. Sekilas ia mendongak ke atas. Di lihatnya samar –
samar kyai dan bocah itu tersenyum padanya. Di sudut ruangan putih itu, ia
mendengar lantunan Al-Qur’an dikumandangkan anak yatim yang diadopsinya.
Wa yasaluunaka’anirruh qulirruhu min mari
rabbi wamaa uutiitum minal’ilmi illa qoliilaa. (QS 17:85)
Cairo, 7 mei 2003
Semoga dengan membacanya cerpen ini bisa
diambil ibrahnya buat para pembaca dan ada hikmahnya juga. Semoga bermanfaat
sobat ^^
ade anita(adeanita_26@yahoo.com.au)
Source: kafemuslimah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar