Bismillahirrohmanirrohimm
..
Syukur
Alhamdulillah masih diberi kesempatan untuk posting tulisan ini. Salah satunya
cerpen ni, kebetulan lagi ol fb dapet cerpen ini. Jadi minta izin ngshare buat
di blog, karena belum berhasil bikin cerpen sendiri hehee. Cerpennya begitu
menarik buat saya jadi saya ingin bagikan lagi buat yang lainnya semoga tak
bosan bagi sahabat yang sudah pernah membacanya.
Terima kasih juga
ku ucapkan untuk sahabat yang mampir ke blog ini walaupun hanya kejap saja ^_^.
Nah selamat
membaca dan simaklah ^^
♥ KALAU JODOH TAK AKAN KEMANA ♥
“Menikahlah dengan Fini le’,” pinta bunda
untuk kesekian kalinya.
“Insya Allah, dia perempuan yang shalehah,
dan bisa menjadi istri yang baik kelak untuk kamu!”
Ini sudah permintaan kesekian ibu untuk
menikah dengan gadis pilihannya. Aku hanya menunduk dan tak berani menatap mata
ibu. Tak sanggup aku melihat wajah teduh ibu yang pasti rautnya bakal berubah
setelah aku selalu menolak permintaannya. Baru kali ini aku berat untuk
mengiyakan permintaan beliau.
“Tapi aku sudah punya calon istri sendiri bu,
aku…” tak sanggup aku melanjutkannya.
Ibu memelukku.
“Iya, ibu paham, tapi ibu mohon satu kali ini
saja, sebelum ibu menyusul ayahmu. Ibu ingin melihat kamu menikah dengan
perempuan yang hati ibu inginkan,” suara ibu mulai parau.
Kurasakan ada air yang menetes ke atas
pundakku. Malam itu badanku hanya dibalut kaos singlet putih.
“Ibu sudah melihat Fini. Menyelidikinya, dan
menurut penilaian ibu, dia bisa menjagamu, menjaga anak-anakmu dan juga menjaga
ibu. Ia perempuan yang baik le’. Dia seorang Hafidzoh, Cerdas, Lembut
perangainya, halus budi pekertinya, Penyayang, bersifat keibuan, penurut &
sayang sama orang tua, dan insya Allah dia sederhana lagi bersahaja,” masih
dalam pelukan, suara ibu mulai melemah di telingaku.
“Tapi bagaimana dengan Via, bu?”
“Ibu tahu kamu sudah memilih Via. Tapi dia
itu belum pasti,” kali ini ibu mencoba mempengaruhiku.
“Kamu tak perlu takut. Insya Allah Fini
adalah perempuan dengan wajah cantik. Ibu menjamin itu,” tegasnya.
“Beri aku waktu setidaknya satu minggu bu.
Aku ingin istikharah.”
Aku tidak mampu lagi menjawab.
Ah, ibu, seandainya engkau tahu betapa dalam
perasaanku kepada Via. Meski aku hanya mengenalnya lewat tulisan-tulisan
tangan. Via, sahabat penaku, perempuan yang aku kenal dari sebuah forum penulis
di salah satu majalah remaja dulu. Meski aku belum pernah bertemu langsung,
penilaianku langsung merujuk ke angka delapan. Aku bisa menggambarkan dirinya
hanya dari tulisan-tulisannya. Ia perempuan yang memiliki kelembutan. Wangi
suratnya mengisyaratkan wangi rambutnya. Halus sulaman kata-kata yang
digunakannya mewakili perangainya. Dan doa yang selalu dikirimkannya
menggambarkan keshalehannya.
Harus bagaimana aku nanti bila surat Via
datang menjengukku. Terakhir kali aku berkirim kabar bahwa ibu ingin menjodohkanku
dengan perempuan pilihannya. Itu satu bulan lalu. Kulanggar perjanjian kami,
untuk tidak memberikan nomor HP, alamat jejaring sosial, ataupun foto. Di surat
terakhir itu kecuali nama dan alamat, kuselipkan secarik foto untuk kali
pertama. Dibelakang foto kutuliskan nomor HPku. Aku ingin tahu reaksinya.
Namun setelahnya, surat-surat Via alfa
menyambangi rumahku. Ia tidak rajin lagi menitipkan rindu seperti dalam goresan
penanya. Entah ia marah atau ingin menjaga hati. Barangkali juga menjaga jarak.
***
Satu pekan berlalu. Tidak ada jawaban dari
Via. Tidak ada surat. Apalagi telepon dan pesan pendek yang mampir ke HP
lawasku. Aku pun memutuskan mengiyakan permintaan ibu. Meski pun surat Via
datang, sebenarnya sangat berat aku menolak permintaan ibu. Setelah Ayah
menghadap Ilahi ketika aku berusia 10 tahun, hanya aku yang menjadi kebanggaan
ibu. Anak semata wayangnya. Aku tidak sanggup melihat wajah kecewa ibu saat
keluar kalimat penolakan dari mulutku. Aku tidak sanggup menjadi durhaka.
Maafkan aku ya Rabb. Aku akan “samina wa atoqna”. Semoga Engkau meridhai jalan
yang aku pilih. Bukankah ridha Allah itu ridha orangtua?
Ibu gembira. Kesibukan pun langsung melanda
rumah mungil peninggalan almarhum Ayah. Rumah sibuk berhias. Ibu dibantu
keluarga dan tetangga repot mempersiapkan seserahan. Tak menunggu waktu, ibu
menyeretku ke toko emas di pasar dekat rumah.
“Keluarkan uangmu, kita beli mahar perhiasan
emas untuk calon istrimu. Ibu yang memilihkan,” ujarnya penuh semangat.
Gembira jiwa ini melihat ibu sumringah. Tapi
hati ini masih diayun-ayun bimbang.
Pertemuan kedua keluarga pun terjadi. Ibu
Fini adalah teman ibu sewaktu mengikuti penataran sebagai guru beberapa tahun
silam. Karenanya mereka sangat akrab, kendati usia ibuku 10 tahun lebih tua.
Aku terdampar di rumah Fini di Selatan
Jakarta. Kulirik sedikit wajahnya yang berhias sedikit polesan. Bibirnya
tersapu gincu tipis. Cantik juga. Wajahnya putih bersih, matanya berbinar, pipi
tambun berlesung bersanding dengan hidung mungilnya. Kacamata cemantel di depan
matanya. Balutan jilbab merah menyempurnakan penampilannya. Tapi hati ini masih
bimbang.
Satu pekan setelah acara khitbah, Akad Nikah
dilaksanakan, walimah pun digelar. Aku tidak banyak mengundang teman-teman
kantorku. Tapi tamu yang hadir cukup banyak datang silih berganti. Kudengar
orang tua Fini mengundang seribu relasinya. Di antara ribuan orang tersebut,
aku mencari sosok Via. Berharap dia datang. Ahh.. aku hanya berkhayal,
bagaimana ia tahu aku menikah hari ini, bila aku tak pernah lagi berkirim surat
dengannya.
Malam pun tiba. Setelah lelah seharian
menjadi raja yang dipajang di atas pelaminan. Usai membasuh riasan dan
mengganti pakaian, aku masuk kamar pengantin yang serba putih. Seprai, bantal,
guling dan dinding yang dihiasi kain putih. Aku duduk mematung di pinggir
tempat tidur.
Sementara Fini, istriku, baru keluar dari
kamar mandi. Ia memakai gaun putih panjang pemberianku yang ada dalam
seserahan. Fini jauh lebih cantik bila rambutnya tergerai. Wajah dan tubuhnya
begitu menggoda. Tapi tidak hatiku.
Ia mendekatiku. Tersenyum namun wajahku
datar. Tipis kulempar senyum agar canggung mencair.
Fini semakin mendekatiku. Duduk merapat di
samping kananku. “Mas akhirnya kamu jadi halal untukku,” suaranya merdu.
Baru kali ini aku mendengar secara utuh,
setelah seharian aku hanya membisu di pelaminan ketika ia mengajak bicara.
Berkhayal Via yang ada di kamar itu. Berdua dengannya.
Kepalanya direbahkan ke pundakku. Sedikit
kaget, tapi kubiarkan. “Maaf, aku masih kaku,” kataku untuk menyembunyikan
keraguan.
“Aku tahu,” ujarnya melemahkan dan mengangkat
kepalanya.
Dahiku berkerut. “Kamu tahu apa?”
“Apa kamu mencintai perempuan lain?”
pertanyaannya menampar hatiku.
Lidahku mematung di dalam mulut. Ia
mengetahui bila ada perempuan yang lebih dulu menyambar hatiku. Jelas saja,
sikap dinginku adalah refleksi dari pertanyaannya. Aku diam.
“Diammu itu adalah jawaban mas.”
Ya Allah, maafkan aku bila pikiran ini sudah
masuk ke dalam ranah selingkuh. Padahal di hadapanku ada bidadari teramat cantik.
“Mas, kamu pasti sedang memikirkan Via?”
wajahku bingung.
Kuputar posisi duduk ke hadapannya.
“Dari mana kamu tahu tentang Via?” masih
dalam heran.
Dia beranjak dan mengambil sebuah kotak kayu
kira-kira berukuran 150x250mm dari dalam lemari pakaian. Kulihat di dalamnya
ada puluhan, bahkan ratusan surat terdokumentasi rapi di dalam kotak warna
coklat. Ia mengambil selembar foto dan selembar surat yang letaknya paling
atas.
Surat itu, aku mengenalnya. Dan itu fotoku
yang kuselipkan di surat terakhir yang kukirim ke Via. Ia tersenyum ketika
kurebut surat itu.
“Aku Via mas. Nama Via adalah nama panggilan
aku di rumah. Fini adalah nama singkatan dari namaku, Fitria Handayani. Aku
meminta ibu memberitahukan nama itu. Maaf bila aku menyembunyikan nama asliku.”
“Awalnya aku juga menolak dijodohkan, tapi
ketika ibu memperlihatkan foto kamu, hatiku riang. Aku menggali informasi dari
ibu untuk memastikan bahwa kamu dan foto yang ibu bawa adalah orang yang sama.
Aku sudah tahu bahwa kamu adalah lelaki yang dijodohkan ibu dan mamah. Karena
itu aku tidak menjawab surat terakhir kamu. Aku ingin membuat kejutan kepada
penjaga hati dan tubuhku,” ujarnya sembari mengulum senyum.
Kedua mataku basah. Berair. Ini adalah air
mata dari mata air surga. Ya Allah, engkau menyiapkan kado terindah yang tidak
pernah aku duga. Ternyata Via dan Fini berasal dari satu jiwa. Ia wanita yang
kucintai. Ibu ternyata mengerti keinginan anaknya.
Hujan pun bersenandung riang malam itu,
mengiringi malam pengantin kami.
Kekuasaan hanyalah milikNya masyaallah. Jika jodoh
ngga akan kemana – mana ko. Percayakan saja semua kepadaNya, insyaAllah Allah akan berikan pilihan yang cocok untuk
yang masih sendiri. Tetap jagalah diri masing – masing dalam keadaan jarak yang
memisahkan. Jauh di mata dekat dalam do’a .. ^_^
Salam santun dan keep istiqomah ...
GABUNG YUK di FP ~"Mutiara Air Mata
Muslimah"~ ada banyak kata HIKMAH, RENUNGAN dan MOTIVASI.
Ajak sahabat yanng lainnya bergabung.
insya Allah Bermanfaat
terharu bacanya :((
BalasHapusjodoh itu tidak akan kemana, tapi tergantung usaha kita untuk mendapatkannya juga. kalo di ibaratkan jodoh itu seperti mata uang, ada di mana-mana dan banyak macamnya, tapi kita tidak akan bisa mendapatkannya tanpa usaha. paling udah di ambil orang deh
BalasHapusMemang ya jodoh gak bakalan kemana...
BalasHapus