Bismillahirrohmanirrohimm ..
Segala puji hanya bagi Allah SWT sholawat dan
salam selalu tercurah pada Baginda Rasululloh SAW, serta para istri –
istrinya keluarganya dan para sahabatnya semoga tercurah limpahan karuniaNya.
Aamiin ..
Kesempatan ini saya posting tulisan tentang para
wanita – wanita syurga lagi yang musti di teladani bagi para muslimah, para
istri – istri pun juga. Walaupun kisah ini sering di dengar dan bahkan sudah
bosan, bagi saya tak henti – hentinya merasa ingin terus membaca dan menyelam
kembali dalam masa – masa kekhalifahan zaman Rasululloh silam. Memotivasi diri
agar belajar dari para wanita – wanita sholehah ini salah satunya bunda
Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha.
Kisah shahabiyah ini sambungan dari beberapa
kisah yang pernah saya posting sebelumnya.
¸.•*°♥°Khadijah Binti Khuwailid radhiallahu ‘anha°♥°*•.¸
Beliau adalah seorang sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Dia
adalah putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab
al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Dijuluki ath-Thahirah yakni yang bersih dan suci.
Sayyidah Quraisy ini dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat kira-kira 15
tahun sebelum tahun fill (tahun gajah). Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga
yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan
agung. Beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dan cerdik dan memiliki
perangai yang luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya menaruh
simpati kepadanya.
Pada mulanya beliau dinikahi oleh Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi
yang membuahkan dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun.Tatkala Abu Halah
wafat, beliau dinikahi oleh Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi hingga
beberapa waktu lamanya namun akhirnya mereka cerai.
Setelah itu banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang
menginginkan beliau tetapi beliau memprioritaskan perhatiannya dalam mendidik
putra-putrinya, juga sibuk mengurusi perniagaan yang mana beliau menjadi
seorang yang kaya raya. Suatu ketika, beliau mencari orang yang dapat menjual
dagangannya, maka tatkala beliau mendengar tentang Muhammad sebelum bi’tsah
(diangkat menjadi Nabi), yang memiliki sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia,
maka beliau meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama
seorang pembantunya yang bernama Maisarah. Beliau memberikan barang dagangan
kepada Muhammad melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya. Muhammad al-Amin
pun menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama Maisarah dan Allah menjadikan
perdagangannya tersebut menghasilkan laba yang banyak. Khadijah merasa gembira
dengan hasil yang banyak tersebut karena usaha dari Muhammad, akan tetapi
ketakjubannya terhadap kepribadian Muhammad lebih besar dan lebih mendalam dari
semua itu. Maka mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur dibenaknya,
yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagamana
kebanyakan laki-laki lain dan perasaan-perasaan yang lain.
Akan tetapi dia merasa pesimis; mungkinkah pemuda tersebut mau
menikahinya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun? Apa nanti kata orang
karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya?
Maka disaat dia bingung dan gelisah karena problem yang
menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama
Nafisah binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog hingga
kecerdikan Nafisah mampu menyibak rahasia yang disembuyikan oleh Khodijah
tentang problem yang dihadapi dalam kehidupannya. Nafisah membesarkan hati
Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah
seorang wanita yang memiliki martabat, keturunan orang terhormat, memiliki
harta dan berparas cantik.Terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang
melamarnya.
Selanjutnya, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia
langsung menemui Muhammad al-Amin hingga terjadilah dialog yang menunjukan
kelihaian dan kecerdikannya:
Nafisah : Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?
Muhammad : Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah .
Nafisah : (Dengan tersenyum berkata) Jika aku pilihkan untukmu
seorang wanita yang kaya raya, cantik dan berkecukupan, maka apakah kamu mau
menerimanya?
Muhammad : Siapa dia ?
Nafisah : (Dengan cepat dia menjawab) Dia adalah Khadijah binti
Khuwailid
Muhammad : Jika dia setuju maka akupun setuju.
Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira
tersebut, sedangkan Muhammad al-Amin memberitahukan kepada paman-paman beliau
tentang keinginannya untuk menikahi sayyidah Khadijah. Kemudian berangkatlah
Abu Tholib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin
Asad untuk melamar Khadijah bagi putra saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan
mahar.
Setelah usai akad nikah, disembelihlah beberapa ekor hewan
kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir. Khadijah membuka pintu bagi
keluarga dan handai taulan dan diantara mereka terdapat Halimah as-Sa’diyah
yang datang untuk menyaksikan pernikahan anak susuannya. Setelah itu dia
kembali ke kampungnya dengan membawa 40 ekor kambing sebagai hadiah perkawinan
yang mulia dari Khadijah, karena dahulu dia telah menyusui Muhammad yang
sekarang menjadi suami tercinta.
Maka jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri dari Muhammad al-Amin
dan jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal
mencintai suami dan mengutamakan kepentingan suami dari pada kepentingan
sendiri. Manakala Muhammad mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah
oleh Khadijah kepada Muhammad. Demikian juga tatkala Muhammad ingin mengambil
salah seorang dari putra pamannya, Abu Tholib, maka Khadijah menyediakan suatu
ruangan bagi Ali bin Abi Tholib radhiallâhu ‘anhu agar dia dapat mencontoh
akhlak suaminya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah memberikan karunia pada rumah tangga tersebut berupa
kebehagaian dan nikmat yang berlimpah, dan mengkaruniakan pada keduanya
putra-putri yang bernama al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqqayah, Ummi Kalsum dan
Fatimah.
Kemudian Allah Ta’ala menjadikan Muhammad al-Amin ash-Shiddiq
menyukai Khalwat (menyendiri), bahkan tiada suatu aktifitas yang lebih ia sukai
dari pada menyendiri. Beliau menggunakan waktunya untuk beribadah kepada Allah
di Gua Hira’ sebulan penuh pada setiap tahunnya. Beliau tinggal didalamnya
beberapa malam dengan bekal yang sedikit jauh dari perbuatan sia-sia yang
dilakukan oleh orang-orang Makkah yakni menyembah berhala dan lain –lain.
Sayyidah ath-Thahirah tidak merasa tertekan dengan tindakan
Muhammad yang terkadang harus berpisah jauh darinya, tidak pula beliau mengusir
kegalauannya dengan banyak pertanyaan maupun mengobrol yang tidak berguna,
bahkan beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu suaminya dengan
cara menjaga dan menyelesaikan tugas yang harus dia kerjakan dirumah. Apabila
dia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke gua, kedua matanya
senantiasa mengikuti suaminya terkasih dari jauh. Bahkan dia juga menyuruh
orang-orang untuk menjaga beliau tanpa mengganggu suaminya yang sedang
menyendiri.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di dalam gua
tersebut hingga batas waktu yang Allah kehendaki, kemudian datanglah Jibril
dengan membawa kemuliaan dari Allah sedangkan beliau di dalam gua Hira’ pada
bulan Ramadhan. Jibril datang dengan membawa wahyu. Selanjutnya beliau Nabi Saw
keluar dari gua menuju rumah beliau dalam kegelapan fajar dalam keadaaan takut,
khawatir dan menggigil seraya berkata: “Selimutilah aku ….selimutilah aku …”.
Setelah Khadijah meminta keterangan perihal peristiwa yang menimpa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menjawab:”Wahai Khadijah
sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku”.
Maka Istri yang dicintainya dan yang cerdas itu menghiburnya
dengan percaya diri dan penuh keyakinan berkata: “Allah akan menjaga kita wahai
Abu Qasim, bergembiralah wahai putra pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang
jiwaku ada ditangan-Nya, sungguh aku berharap agar anda menjadi Nabi bagi umat
ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, sesungguhnya anda
telah menyambung silaturahmi, memikul beban orang yang memerlukan, memuliakan
tamu dan menolong para pelaku kebenaran.
Maka menjadi tentramlah hati Nabi berkat dukungan ini dan
kembalilah ketenangan beliau karena pembenaran dari istrinya dan keimanannya
terhadap apa yang beliau bawa.
Namun hal itu belum cukup bagi seorang istri yang cerdas dan
bijaksana, bahkan beliau dengan segera pergi menemui putra pamannya yang
bernama waraqah bin Naufal, kemudian beliau ceritakan perihal yang terjadi pada
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam . Maka tiada ucapan yang keluar dari
mulutnya selain perkataan: “Qudus….Qudus…..Demi yang jiwa Waraqah ada
ditangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan kepadaku benar,maka sungguh telah
datang kepadanya Namus Al-Kubra sebagaimana yang telah datang kepada Musa dan
Isa, dan Nuh alaihi sallam secara langsung.Tatkala melihat kedatangan Nabi,
sekonyong-konyong Waraqah berkata: “Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya,
Sesungguhnya engkau adalah seorang Nabi bagi umat ini, pastilah mereka akan
mendustakan dirimu, menyakiti dirimu, mengusir dirimu dan akan memerangimu.
Seandainya aku masih menemui hari itu sungguh aku akan menolong dien Allah “.
Kemudian ia mendekat kepada Nabi dan mencium ubun-ubunnya. Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Apakah mereka akan mengusirku?”.
Waraqah menjawab: “Betul, tiada seorang pun yang membawa sebagaimana yang
engkau bawa melainkan pasti ada yang menentangnya. Kalau saja aku masih
mendapatkan masa itu …kalau saja aku masih hidup…”. Tidak beberapa lama
kemudian Waraqah wafat.
Menjadi tenanglah jiwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala
mendengar penuturan Waraqah, dan beliau mengetahui bahwa akan ada
kendala-kendala di saat permulaan berdakwah, banyak rintangan dan beban. Beliau
juga menyadari bahwa itu adalah sunnatullah bagi para Nabi dan orang-orang yang
mendakwahkan dien Allah. Maka beliau menapaki jalan dakwah dengan ikhlas
semata-mata karena Allah Rabbul Alamin, dan beliau mendapatkan banyak gangguan
dan intimidasi.
Adapun Khadijah adalah seorang yang pertama kali beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan yang pertama kali masuk Islam.
Beliau adalah seorang istri Nabi yang mencintai suaminya dan juga
beriman, berdiri mendampingi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang dicintainya
untuk menolong, menguatkan dan membantunya serta menolong beliau dalam
menghadapi kerasnya gangguan dan ancaman sehingga dengan hal itulah Allah
meringankan beban Nabi-Nya.Tidaklah beliau mendapatkan sesuatu yang tidak
disukai, baik penolakan maupun pendustaan yang menyedihkan beliau Shallallahu
‘alaihi wasallam kecuali Allah melapangkannya melalui istrinya bila beliau
kembali ke rumahnya. Beliau (Khadijah) meneguhkan pendiriannya, menghiburnya,
membenarkannya dan mengingatkan tidak berartinya celaan manusia pada beliau
Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ayat-ayat Al-Qur’an juga mengikuti
(meneguhkan Rasulullah), Firman-Nya:
“Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu
berilah peringatan! Dan Rabb-Mu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan
perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud)
memperoleh (belasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-Mu,
bersabarlah!”(Al-Muddatstsir:1-7).
Sehingga sejak saat itu Rasulullah yang mulia memulai lembaran
hidup baru yang penuh barakah dan bersusah payah. Beliau katakan kepada sang
istri yang beriman bahwa masa untuk tidur dan bersenang-senang sudah habis.
Khadijah radhiallâhu ‘anha turut mendakwahkan Islam disamping suaminya -semoga
shalawat dan salam terlimpahkan kepada beliau. Diantara buah yang pertama
adalah Islamnya Zaid bin Haritsah dan juga keempat putrinya semoga Allah
meridhai mereka seluruhnya.
Mulailah ujian yang keras menimpa kaum muslimin dengan berbagai
macam bentuknya,akan tetapi Khadijah berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar
kokoh dan kuat. Beliau wujudkan Firman Allah Ta’ala:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: ‘Kami telah beriman’ , sedangkan mereka tidak diuji lagi?” .
(Al-’Ankabut:1-2).
Allah memilih kedua putranya yang pertama Abdullah dan al-Qasim
untuk menghadap Allah tatkala keduanya masih kanak-kanak, sedangkan Khadijah
tetap bersabar. Beliau juga melihat dengan mata kepalanya bagaimana syahidah
pertama dalam Islam yang bernama Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul maut
karena siksaan para thaghut hingga jiwanya menghadap sang pencipta dengan penuh
kemuliaan.
Beliau juga harus berpisah dengan putri dan buah hatinya yang
bernama Ruqayyah istri dari Utsman bin Affan radhiallâhu ‘anhu karena putrinya
hijrah ke negeri Habsyah untuk menyelamatkan diennya dari gangguan orang-orang
musyrik. Beliau saksikan dari waktu ke waktu yang penuh dengan kejadian besar
dan permusuhan. Akan tetapi tidak ada kata putus asa bagi seorang Mujahidah.
Beliau laksanakan setiap saat apa yang difirmankan Allah Ta’ala :
“Kamu sungguh-sungguh akan duji terhadap hartamu dan dirimu. Dan
(juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberikan
kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, ganguan
yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka
sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang di utamakan “. (Ali
Imran:186).
Sebelumnya, beliau juga telah menyaksikan seluruh kejadian yang
menimpa suaminya al-Amin ash-Shiddiq yang mana beliau berdakwah di jalan Allah,
namun beliau menghadapi segala musibah dengan kesabaran. Semakin bertambah
berat ujian semakin bertambahlah kesabaran dan kekuatannya. Beliau campakkan
seluruh bujukan kesanangan dunia yang menipu yang hendak ditawarkan dengan
aqidahnya. Dan pada saat-saat itu beliau bersumpah dengan sumpah yang
menunjukkan keteguhan dalam memantapkan kebenaran yang belum pernah dikenal
orang sebelumnya dan tidak bergeming dari prinsipnya walau selangkah semut.
Beliau bersabda: “Demi Allah wahai paman! seandainya mereka mampu meletakkan
matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan
urusan dakwah ini, maka sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah
memenangkannya atau aku yang binasa karenannya”.
Begitulah Sayyidah mujahidah tersebut telah mengambil suaminya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai contoh yang paling agung dan
tanda yang paling nyata tentang keteguhan diatas iman. Oleh karena itu, kita
mendapatkan tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotan mereka terhadap
kaum muslimin untuk menekan dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan
dan mereka tulis naskah pemboikotan tersebut kemudian mereka tempel pada
dinding ka’bah; Khadijah tidak ragu untuk bergabung dengan kaum muslimin bersama
kaum Abu Thalib dan beliau tinggalkan kampung halamannya untuk menempa
kesabaran selama tiga tahun bersama Rasul dan orang-orang yang menyertai beliau
menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan dan menghadapi
kesewenang-wenangan para penyembah berhala. Hingga berakhirlah pemboikotan yang
telah beliau hadapi dengan iman, tulus dan tekad baja tak kenal lelah. Sungguh
Sayyidah Khadijah telah mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian
tersebut di usia 65 tahun. Selang enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan
itu wafatlah Abu Thalib, kemudian menyusul seorang mujahidah yang sabar -semoga
Allah meridhai beliau- tiga tahun sebelum hijrah.
Dengan wafatnya Khadijah maka meningkatlah musibah yang Rasul
hadapi. Karena bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Khadijah adalah
teman yang tulus dalam memperjuangkan Islam.
Begitulah Nafsul Muthmainnah telah pergi menghadap Rabbnya setelah
sampai pada waktu yang telah ditetapkan, setelah beliau berhasil menjadi
teladan terbaik dan paling tulus dalam berdakwah di jalan Allah dan berjihad
dijalan-Nya. Dalam hubungannya, beliau menjadi seorang istri yang bijaksana,
maka beliau mampu meletakkan urusan sesuai dengan tempatnya dan mencurahkan
segala kemampuan untuk mendatangkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Karena
itulah beliau berhak mendapat salam dari Rabb-nya dan mendapat kabar gembira
dengan rumah di surga yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan didalamnya
dan tidak ada pula keributan didalamnya. Karena itu pula Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik
wanita adalah Maryam binti Imran, sebaik-baik wanita adalah Khadijah binti
Khuwailid”.
Ya Allah ridhailah Khadijah binti Khuwailid, As-Sayyidah
Ath-Thahirah. Seorang istri yang setia dan tulus, mukminah mujahidah di jalan
diennya dengan seluruh apa yang dimilikinya dari perbendaharaan dunia. Semoga
Allah memberikan balasan yang paling baik karena jasa-jasanya terhadap Islam
dan kaum muslimin. Aamiin allah humma aamiin ..
Kisah sayyidah yang begitu menggugah, dengan kesetiaannya pada
sang suami yang tentunya patut ditiru bagi para istri – istri sekarang ini.
Ketulusan dalam memperjuangkan dienNya dan menjadi seorang ibu yang bijaksana
dalam membesarkan anaknya. Dan dari rahimnyalah bisa terlahir wanita mulia
lainya salah satunya Fatimah Azahra. Sungguh sebaik – baik contoh adalah
Rasululloh dan para sahabat – sahabatnya serta para shahabiyahnya. Semoga kelak
kita menjadi seorang istri yang berakhlak seperti bunda Khadijah ini aamiin .. J
Semoga dengan kisah ini bisa membuka hati yang terkunci dan
belajar.
Semoga bermanfaat ^^
Sumber http://www.alsofwah.or.id
BAGUS INSPIRATIF
BalasHapus