Bismillahirrohmanirrohim
…
Assalamualaikum
Warahmatulloh Wabarakatuh ..
Alhamdulillah
wasyukurillah masih diberikan kesempatan masih bisa menuangkan coretan –
coretan yang sederhana ini. Yang semoga bisa bermanfaat bagi sahabat blogger
semuanya.. aamiin ..
Postingan
kali ini judulnya adalah ….
Dari Sahabat untuk Sahabat ..
Menangis ? Salahkah ?
Apa salahnya menangis, jika memang dengan menangis itu manusia
menjadi sadar. Sadar akan kelemahan – kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang
sanggup menolongnya dari keterpurukan selain Allah Swt. Kesadaran yang membawa
manfaat dunia dan akhirat. Bukankah kondisi hati manusia tiada pernah stabil ?
Selalu berbolaki balik menuruti keadaan yang dihadapi. Ketika seseorang
menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira dan saat dilanda musibah tidak
sedikit orang yang putus asa bahkan berpaling dari kebenaran.
Sebagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia
merupakan tanda lemahnya seseorang. Bangsa Yahudi selalu mengecam cengeng
ketika anaknya menangis dan dikatakan tidak akan mampu melawan musuh –
musuhnya. Para orang tua di jepang akan memarahi anaknya jika mereka menangis
karena dianggap tidak tegar menghadapi hidup. Menangis adalah hal yang hanya
dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai prinsip hidup.
Bagi muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati
dan pertanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya
maupun umatnya. Rasulullah Saw meneteskan air matanya ketika ditinggal mati
oleh anaknya, Ibrahim. Abu Bakar Ashshiddiq ra digelari oleh anaknya Aisyah ra
sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis).
Beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat
dibelakang Rasulullah Saw karena mendengar ayat – ayat Allah. Abdullah bin Umar
suatu ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada seorang sedang membaca
Al Qur’an, ketika sampai pada ayat: “Hari (ketika) manusia berdiri menghadap
Tuhan semesta alam” (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada saat itu juga beliau diam
berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan – akan sedang menghadap
Robbnya, kemudian beliau menangis. Lihatlah betapa Rasulullah Saw dan para
sahabatnya benar – benar memahami dan merasakan getaran – getaran keimanan
dalam jiwa mereka. Lembutnya hati menghantarkan mereka kepada derajat hamba
Allah yang peka.
Bukankah diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan
naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang
berdoa kepada Robbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata?
Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo’a sendirian jika hati
seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya
justru maksiat. Bahkan ttidak sedikit manusia yang bermaksiat, saat sendiri
didalam kamarnya seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian berdo’a
kepada Tuhannya. Sadar betapa berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia
ini.
Dizaman ketika manusia lalai dalam gemerlap dunia, seorang mukmin
akan senantiasa menjaga diri dan hatinya. Menjaga kelembutan dan kepekaan
jiwanya. Dia akan mudah meneteskan air mata demi melihat kehancuran umatnya.
Kesedihannya begitu mendalam dan perhatiannya terhadap umat menjadikannya orang
yang tanggap terhadap permasalahn umat. Kita tidak akan melihat seorang mukmin
bersenang – senang dan bersuka ria ketika tetangganya mengalami kesedihan.
Ditimpa berbagai ujian, cobaan dan fitnah. Mukmin yang sesungguhnya akan dengan
sigap membantu meringankan segala beban saudaranya. Ketika seorang mukmin tidak
mampu menolong dengan tenaga ataupun harta, dia akan berdo’a memohon kepada
Tuhan semesta alam.
Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran.
“Dan apabila mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu
lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang
telah mereka ketahui (dari kitab – kitab mereka sendiri) seraya berkata:”Ya
Rabb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang – orang yang
menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad)” (QS. Al Maidah:
83)
Ja’far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke – 16
hingga 22 kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengarkan ayat – ayat
Allah dibacakan, bercucurlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya
ayat – ayat kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu
dan hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang
rindu akan kebenaran benar – benar merasakannya.
Orang
yang keras hatinya, akan sulit menangisa saat dibacakan ayat – ayat Allah.
Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa atau
malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk penghormatan seorang tokoh
munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah Saw, sedikit pun tidak
berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah Swt mengecam keadaan
mereka di akhirat nanti, “Sesungguhnya orang – orang munafik itu (ditempatkan)
pada tingkattan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali – kali tidak akan
mendapatkan seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An Nisa’. 145)
Barangkali di antara kita yang belum pernah menangis, maka
menangislah disaat membaca Al Qur’an menangislah ketika berdo’a di sepertiga
malam terakhir, menangislah karena melihat kondisi umat yang terpuruk, atau
tangisilah dirimu karena tidak bisa menangis ketika mendengar ayat – ayat
Allah. Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta
penyubur iman dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan
sedikit tertawa karena dosa – dosa yang diperbuatnya selama di dunia. “maka
mereka sedikit tertawa dan banyak menangis sebagai pembalasan dari apa yang
selalu mereka kerjakan”. (QS At Taubah:82).
Jadi
apa salahnya menangis ?
Menangis
tak menjadikan kita rendah dimata Allah..
Menangis
menandakan kelembutan kita .. ^^
So,
jangan malu menangis dihadapanNya, tapi menangisnya harus bermutu yah hehehee ..
Semoga
tulisan ini bermanfaat ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar